seperti yang kita tahu, sektor pariwisata menjadi salah satu faktor pendukung perkembangan ekonomi di Indonesia. sebagai sumber penerimaan pendapatan, pariwisata tidak terlepas dari banyaknya jumlah wisatawan, terutama wisatawan asing. Kepala dinas Pariwisata (Kadispar) Bali, Putu Astawa, mencatat bahwa wisatawan yang berkunjung akan memberi dampak positif bagi Daerah Tujuan Wisata (DTW) terutama sebagai sumber pendapatan daerah.
sebagai contoh, Bali merupakan salah satu destinasi pariwisata yang banyak diminati oleh wisatawan asing. Aktivitas pariwisata yang tinggi di Bali mendatangkan permintaan investasi yang tinggi. Selain itu, adanya aktivitas pariwisata di Bali dapat memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan masyarakat di mana sektor pariwisata tersebut berkembang. Serta terdapat kontribusi tinggi terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Provinsi Bali dan devisa negara.
namun, dengan adanya daya tarik wisatawan asing yang cukup tinggi terhadap destinasi wisata mengakibatkan ketertarikan para wisatawan asing untuk tinggal di tempat tersebut. Seiring berjalannya waktu, dengan banyaknya Warga Negara Asing (WNA) yang menetap, pembangunan di daerah tersebut pun semakin meningkat. Daerah yang ditempati oleh WNA ini kemudian berubah menjadi kawasan hunian kelas menengah dan/atau kawasan komersial yang dapat memicu terjadinya gentrifikasi.
meskipun memiliki cakupan yang luas, menurut sebuah studi perkotaan, gentrifikasi dimaknai sebagai bentuk transformasi kelas sosial atau daerah kosong di kawasan tengah kota menjadi kawasan kelompok kelas menengah atau untuk tujuan komersial (2007). Proses transformasi tata guna lahan tersebut meningkatkan ketergantungan dengan berbagai stakeholder yang dapat menciptakan kedinamisan wilayah, sehingga sukses menarik perhatian masyarakat golongan atas.
meski dalam satu sisi gentrifikasi memberikan dampak baik dala kemajuan suatu kota, gentrifikasi jelas merupakan sebuah fenomena yang mengancam eksistensi suatu masyarakat setempat karena akibat dari naik kelas nya. sebuah kawasan menjadi kawasan yang bernilai tinggi.
pengaruh gentrifikasi dapat berdampak tidak sehat bagi masyarakat setempat. Mengapa? pada kenyataanya, pendekatan gentrifikasi menimpa masyarakat berpenghasilan rendah. Peningkatan gentrifikasi sering disambut secara positif karena tingginya keuntungan yang dapat dirasakan oleh pihak kelas atas seperti investor asing, real estate, dan bahkan pemerintah. Hal ini mengakibatkan perdebatan karena konsekuensi yang dirasakan oleh masyarakat berpenghasilan rendah serta masalah sosial yang semakin meningkat merasa diabaikan. Ketika masyarakat memiliki penghasilan yang rendah sementara pendatang memiliki pemasukan yang lebih besar, maka biaya hidup dan pajak di daerah tersebut akan naik sehingga masyarakat setempat akan dirugikan karena tidak dapat menjangkau biaya hidup yang ada. Selain itu, dapak negatif dari gentrifikasi dapat terjadi pada kota atau daerah yang ditinggalkan atau ter-gentrified karena memiliki kemungkinan kehilangan penduduknya dan tak memiliki kegiatan perkotaan sebagaimana mestinya.
seorang WNA asal Amerika Serikat, Kristen Gray, melalui akun twitter-nya, @kristentootie, membuat utas mengenai keputusannya untuk menetap di Bali bermodalkan visit visa pada sabtu (16/1). keputusan ini diambil oleh Kristen Gray karena biaya hidup yang lebih murah dengan gaya mewah, eksistensi komunitas kulit hitam di Bali, dan sense of security yang didapatnya di Bali.
Melalui utas tersebut, Kristen Gray mempromosikan e-book yang ditulisnya berjudul "Our Bali Life is Yours" dengan harga US$30 (Rp422.700) tanpa membayar pajak. Dalam e-book tersebut, Kristen Gray menjelaskan bagaimana cara pergi ke Bali di masa pandemi, dengan mencatumkan langsung kontak agen visa. Pada akhir utasnya, ia kemudian mengajak orang lain, khususnya WNA, untuk melakukan hal yang sama melalui panduan yang diberi dalam e-book yang ditulisnya.
Apakah yang dilakukan Kristen Gray memicu gentrifikasi? Apabila melihat dari postingan yang diunggah, dapat disumpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh Kristen Gray dapat memicu terjadinya gentrifikasi . Mengingat ia mengajak orang lain (Warga Negara Asing) untuk menetap di Bali, terutama di saat pandemi. semakin banyaknya jumlah WNA yang menetap dapat mendorong tersingkirnya masyarakat lokal sehingga berakibat pada rendahnya daya saing mereka terhadap WNA, dan pada akhirnya, mereka akan 'terusir' dengan eksistensi WNA yang tinggal di Bali.
ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi gentrifikasi, diantaranya yaitu:
penguatan advokasi kepada kelompok-kelompok yang termajinalisasikan. Dapat dilakukan dengan mendirikan jaringan-jaringan relawn yang berfungsi dalam menguatkan basis suara mereka yang terpinggirkan. Selain itu, penguatan advokasi dapat dilakukan dengan menguatkan jaringan sosial dan proses kampanye guna memberi tekanan kepada aktor pemerintah, pasar, hingga kelompok masyarakat yang secara luas untuk melihat dan menengok permasalahan yang ditimbulkan dari gentrifikasi yang terjadi.
penguatan hak partisipasi warga. dilakukan dengan cara mempromosikan hak-hak masyarakat setempat terhadap wilayah tersebut.
pembentukan regulasi baru yang dapat mendukung hak-hak masyarakat setempat, seperti regulasi megenai pelarangan pembangunan pemukiman mewah berskala besar.
referensi:
Alexander, H. (2016, October 05). Ini Dampak dan Solusi Penanganan Gentrifikasi Perkotaan. Retrieved January 22, 2021, from https://properti.kompas.com/read/2016/10/05/232514921/ini.dampak.dan.solusi.penanganan.gentrifikasi.perkotaan
Medha, A. N., & Ariastita, P. G. (2017). Pandangan Terhadap Fenomena Gentrifikasi dan Hubungannya dengan Perencanaan Spasial. Jurnal Teknik ITS, 6(2), C202-C205.
Windayani, I. A. R. S., & Budhi, M. K. S. (2017). Pengaruh kunjungan wisatawan, tingkat hunian hotel, pengeluaran wisatawan terhadap penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi di provinsi Bali. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 6(2), 225-254.
Pratiyudha, P. P. (2019). Gentrifikasi dan Akar-akar Masalah Sosial: Menakar Identifikasi, Diagnosis, dan Treatment Proses Gentrifikasi sebagai Masalah Sosial. REKA RUANG, 2(1), 27-38.
Comments